Jakarta, KORSUM.ID–Kejaksaan Agung membeberkan satu tahun capaian kinerja dibawah kendali Jaksa Agung Burhanuddin, salah satunya menghentikan 101 perkara melalui inisiasi kebijakan penghentian Penuntutan dengan pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono mengatakan pendekatan keadilan restoratif berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, ini merupakan sebuah upaya menyesuaikan pergeseran paradigma yang berkembang pada masyarakat Indonesia.
“Yang sebelumnya keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Tentu saja hanya tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ucap Hari dalam keterangan persnya, di Kejagung, Jakarta, Senin (26/10/2020).
Menurut dia, untuk mencapai keadilan restoratif ini tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, yang ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
“serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp. 2.5 miliar,” papar dia.
Lanjut dia, pelaksanaannya juga harus melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula meliputi penyelesaian perkara-perkara kecil atau trivial case dan/atau perkara yang mungkin diselesaikan dengan perdamaian.
“Membantu mengurangi penumpukan beban perkara di pengadilan, sehingga pengadilan lebih berkonsentrasi menyelesaikan kasus besar yang merugikan masyarakat, menghemat waktu dan angggaran, sehingga hukum menjadi efisien,” ungkapnya.
Hari merinci dalam tindak lanjut pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif yang telah dilakukan oleh jajaran kejaksaan sebanyak 101 perkara dengan rincian 97 perkara dengan korban perorangan dan 4 perkara dengan korban perusahaan atau lembaga negara yang tersebar di 27 Provinsi dan 70 Kabupaten/Kota.
“Pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan Kejaksaan kiranya dapat menjadi evaluasi dalam penanganan tindak pidana serta dapat menjadi dasar perbaikan hukum acara pidana dalam penyusunan rancangan kitab hukum acara pidana,” imbuhnya.
Sementara itu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai pola keadilan restoratif yang disorotnya itu telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kampar, Riau. Melalui hal itu Kejari Kampar dibawah kendali Suhendri perlu diapresiasi.
“Saya melihat pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan Kejari Kampar perlu diapresiasi dan itu perlu diikuti Kejari-Kejari lainnya,” ungkap Koordinator MAKi Boyamin Saiman, kepada wartawan.
Dia pun menilai terkait penangan korupsi di Kejari-Kejari se Riau secara global memang menjadi perhatian masyarakat. Meski dalam pemberantasan korupsi perlu membutuhkan kesamaan dan presepsi mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri.
Kejari Kampar sendiri dari informasi didapat dalam penanganan korupsi dari limpahan Kepolisian, jaksa selaku penuntut saat ini ada 2 perkara.
“Jadi penanganan korupsi tidak harus juga kejar target, berapa yang ditangani, tapi harus juga dilihat seperti apa kasus posisinya agar tidak terjebak,” ujarnya.
Seperti diberitakan, setidaknya ada 3 perkara pidum melalui Keadilan Restoratif yang dilakukan Kejari Kampar, yakni perkara anak terkait ujaran kebencian dengan mengunggah postingan di akun media sosial antara pelaku Ong Sianipar dan, korban Afrizal BR yang berhasil dipersatukan, melalui mediasi sebelum dibawa ke ranah pengadilan.
Kemudian, kasus penganiayaan ringan dengan pelaku satu keluarga pasangan suami, Istri dan anak, sedangkan yang menjadi korban adalah seorang wanita Lisnawati.
Selain itu, perkara pencurian 3 bungkus rokok di sebuah kedai grosir di Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kampar. Pelaku juga pasangan suami istri, berinisial SU (59) dan SA (50), dimana penuntutannya dihentikan, lantaran kedua pelaku dan korban bisa didamaikan, sehingga perkara diselesaikan di luar sidang.
Pada, mediasi pelaku dan korban, Kejari Kampar kerap melibatkan ulama, tokoh agama, dan tokoh masyarakat setempat.
“Kami terus berupaya memberikan rasa keadilan agar hukum tidak tumpul kebawah bagi masyarakat pencari keadilan, melalui cara restorative justice sudah ada 3 perkara kami selesaikan sejak terbitnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, sesuai perintah pimpinan Kejagung dan Pimpinan diwilayah hukum Kejati Riau,” tandas Kajari Suhendri, Selasa 29 September 2020 lalu.