Strategi “Pager Betis” Membangun “Sense Of Crisis” Pandemi Covid-19 Pasca PPKM Darurat

Oleh:
Dr. Dian Sukmara, M.Pd.

Sense of crisis dimaksudkan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai.

Dalam hal ini, pemerintah dan rakyat berjalan beriringan, melakukannya secara tertstruktur, masif dan sistemik dibutuhkan manajemen krisis secara cepat dan tepat, sebagaiman bapak Presiden Jakowi katakan, “Kita harus ganti channel dari ordinary pindah channel ke extraordinary.

Dari cara-cara yang sebelumnya rumit, ganti channel ke cara-cara cepat dan cara-cara yang sederhana. Dari cara yang SOP (standar operasional prosedur) normal, kita harus ganti channel ke SOP yang smart shortcut” (https://www.vibizmedia.com/2020/07/08/).

Oleh karena itu diperlukan suatu manajemen yang tidak hanya mempersiapkan kejadian yang telah diramalkan akan terjadi (Manajemen Resiko), namun manajemen yang dititikberatkan untuk langsung beradaptasi, mengelola, dan mengatasi situasi darurat atau tidak terduga, dalam hal ini pelayanan publik yakni Manajemen Krisis.

Dengan kata lain, tindakan yang diambil untuk menanggulangi krisis harus efisien dan dapat segera dilakukan. Itulah yang disebut dengan manajemen krisis, yaitu strategi responsif menghadapi kejadian krisis yang datang secara tiba-tiba. Krisis bisa hadir dalam berbagai wujud, salah satunya seperti yang sedang terjadi saat ini, yaitu wabah pandemic COVID-19.

Manajemen Krisis
Tahapan pertama dari manajemen krisis adalah mencegah potensi krisis. Wabah virus Corona sudah menyebar dan pelayanan publik sudah terkena dampaknya. Namun demikian, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa bulan ke depan.

Membuat perencanaan manajemen krisis sekarang akan sangat membantu menentukan langkah-langkah yang tepat untuk menetapkan prosedur terhadap pelayanan publik ketika kejadian krisis yang mungkin lebih besar terjadi di kemudian hari.

Mencegah potensi krisis harus benar-benar fokus dan akurat dari strategi yang akan dilakukan, kondisi disuatu kawasan tidak bisa digeneralisasi dengan kawasan lainnya, untuk meminimalisir dampak dari pengendalian yang dilakukan, kesehatan perlu dijaga, roda perekonomian, keamanan dan sistem sosiallainnya pun perlu dipertimbangkan.

Artinya zonasi harus benar-benar diberlakukan berdasar satuan sosial masyarakat terkecil (PPKM Mikro) yakni diterapkan sampai pada batas lingkungan Rukun Tetangga (RT), didasarkan fakta yang ada.

Pernyataan Zonasi Hijau, Kuning, Orange dan Merah, akan lebih tepat ditetapkan oleh masyarkat melalui kawasan RT nya masing-masing, sehingga masyarakat diharapakan lebih menyadari dengan sendirinya untuk menjaga, melindungi (menerapkan prokes serta ketat) bahkan menerapkan Micro Lockdown.

Langkah antisipasi ini dengan mengoptimalkan peran pos komando (posko), terutama terkait pengendalian sesuai status zonasi tingkat rukun tetangga (RT) masing-masing.

Tahapan kedua dalam penanggulangan krisis adalah response to the crisis, yaitu bagaimana menanggapi krisis yang sedang terjadi saat ini, di mana rencana penanganan krisis yang sebelumnya sudah disusun benar-benar diimplementasikan.

Jika dalam suatu lingkungan RT berstatus zona merah atau memiliki kasus lebih dari 5 rumah, maka Mikro Lockdown harus diterapkan.

Upaya yang dilakukan mengawasi ketat warga yang melakukan isolasi mandiri, menemukan suspek, melacak kontak erat serta menutup tempat umum termasuk rumah ibadah. masyarakat agar sebisa mungkin tetap tinggal di rumah, dengan pembatasan kegiatan sosial, serta mengawasi betul dengan seketat mungkin keluar masuk warga masyarakat dari dan ke wilayah tersebut dengan menggunakan kekuatan dan kesadaran dari dalam diri masyarakat itu sendiri, itu yang dimaksud penulis dengan istilah “Pager Betis” yakni pengendalian permasalahan dan ancaman terhadap masyarakat melalui kekuatan dan kesadaran penuh masyarkat “sense of Crisis”, dengan arahan dan pengendalian pemerintah.

Tahapan ketiga adalah post crisis, yaitu tahapan di mana krisis sudah reda atau berlalu, akan tetapi proses penanggulangan krisis masih tetap berlanjut. Tahap ini merupakan waktu yang tepat untuk mengevaluasi strategi dalam menanggulangi krisis, apakah sudah berjalan efektif atau perlu dilakukan perbaikan.

Hal terpenting adalah mewaspadai eskalasi kasus Covid-19 yang dikhawatirkan dapat mendorong kembali restriksi mobilitas masyarakat. Sebab, hal ini dapat memberikan dampak kurang baik pada laju pemulihan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Pandemi Covid-19 telah mendisrupsi cara hidup masyarakat, keadaan ini juga telah memberikan pelajaran bagi setiap individu untuk beradaptasi dan bertransformasi dari tata cara hidup yang konvensional menuju tatanan hidup yang baru.
Krisis yang terjadi saat ini atau akan terjadi, diminimalisir jangan membuat kepanikan, sebab krisis dapat dikelola menjadi stimulus bagi kita dalam mempersiapkan strategi yang lebih baik dalam menghadapi permasalahan di masa depan.

Dengan menerapkan manajemen krisis, pengambil keputusan dapat lebih siap untuk menggariskan kebijakan dalam menghadapi krisis dan mengurangi dampak yang ditimbulkan, untuk selanjutnya dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan (oleh unit penyedia layanan publik) sehingga proses tetap berjalan secara produktif.

Strategi Pager Betis
Operasi Pagar Betis adalah operasi militer Indonesia untuk mengakhiri pemberontakan, namun juga pager beis dikenal juga dalam persepakbolaan yakni pemain bertahan sebuah tim diperbolehkan melindungi gawang dengan membangun tembok atau pagar betis, dalam situasi tendangan bebas.

Dengan kata lain Pager Betis adalah sebuah penjagaan yang ketat dengan melibatkan banyak pihak dalam mempertahankan daerah kekuasaannya dari suatu kondisi yang tidak diinginkan dan atau ancaman musuh.

Adapun pager betis yang dimaksud dalam pengendaliaan dan atau memutus mata rantai covid 19 adalah sebuah proaktif masyarakat yang timbul atas kesadaran yang mendalam untuk melindungi diri dan daerahnya dari wabah covid 19 dalam bentuk sebuah sistem sosial yang utuh, kuat dan solid dalam kondisi lokal yakni pemerintah setempat (RT).

Sistem sosial sebagai sebuah strategi dalam menjamin kemanan dan kenyamanan wilayah secara lokal (Local Territory Safetly Stategy) adalah memperkuat, memfasilitasi serta memfungsikan secara optimal keberadaan pemerintahan setempat dalam memberikan perlindungan terdepan terhadap masyarakat yang secara langsung bersinggungan dengan konstituen, sehingga dikonsepsikan dengan Strategi Pagar Betis.

Salah satu unsur kepemerintahan desa/kelurahan yang jarang disinggung dalam kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun sebenarnya memegang peranan vital adalah RT dan RW. Bahkan RT/RW sebenarnya merupakan ujung tombak pelayanan pada warga masyarakat karena kedekatannya dengan para konstituen.

Sayangnya, selama ini RT/RW masih sebatas melaksanakan peran-peran administratif seperti pencatatan mutasi kependudukan, pembuatan surat-surat keterangan untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk/KTP atau kepentingan lainnya, serta pelayanan persuratan lainnya.

Dengan kata lain, keberadaan dan fungsi RT/RW selama ini cenderung kurang terpikirkan, padahal RT/RW merupakan salah satu komponen utama dalam konsep community-centered local government.

Selain itu, karena kedekatannya dengan warga, Ketua RT/RW bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas dan strategis seperti menjaring aspirasi warga, mendeteksi permasalahan sosial secara masif, termasuk dalam memutus mata rantai Covid 19 yang belum kunjung mereda.

Mengingat perkembangan lingkungan kebijakan dewasa ini, yang secara langsung berdampak pada tuntutan perlunya pengembangan peran baru RT/RW yang lebih luas, maka pengembangan kapasitas (capacity building) bagi aktor-aktor ditingkat RT/RW dipandang memiliki nilai strategis yang tinggi.

Dalam hal ini, pengembangan kapasitas RT/RW diarahkan pada terbangunnya kemampuan dan peran baru. Mendorong terbentuknya ‘knowledgable society’ atau ‘learning society’; Agen pertama dalam proses conflict resolution; dan sebagainya.

Dengan demikian, fungsi RT tidak bersifat tradisional seperti pencatatan administrasi kependudukan (pindah/ lahir/mati, KTP/KK, dll) atau sebagai agen penjaringan aspirasi (dalam siklus atau proses rakorbang/musrenbang) semata; tetapi jauh lebih strategis dan dapat menjadi alternatif Pola Kelembagaan Baru
Mendukung fungsi-fungsi baru yang ‘sangat berat’ tadi, maka dapat diberlakukan pola ‘competitive grant’ bagi RT/RW yang (dinilai) mampu menyusun (dan menjalankan) dengan baik. Pola ini perlu ditempuh sebagai pelengkap bagi pola pemberian dana operasional rutin bari RT/RW, hal ini seiring dengan program Sumedang SIMPATI diantaranya peningkatan Insentif RT.

Terlebih lagi dalam peningkatan stretegi baik pada masa PPKM maupun apabila berakhir secara bertahap tentang pemberlakuan PPKM Darurat.

Mudah-mudahan opini ini menjadi sebuah Smart Shortcut, sebagaimana diharapkan pak presiden, ”dalam menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi, diperlukan kecerdasan, pengetahuan terhadap situasi lapangan, dan penguasaan manajemen lapangan” (https://www.vibizmedia.com/2020/07/08/)..

Wallahu a’lam bish-shawabi
( والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ )

(Penulis Adalah sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, seluruh isi dari tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis)